Sengkarut Tata Kelola Universitas NU Kalsel

Oleh : M Syarbani Haira*)
Meski saya merupakan pendiri dan sekaligus juga menjadi penggagas pendirian Universitas NU Kalimantan Selatan sejak 2007 (hasil konferwil), dan kemudian berhasil direalisasikan tahun 2014, tetapi karena ada rasa jenuh menjadi aktivis NU sejak pertengahan 1980-an, maka begitu masa khidmat saya sebagai Ketua BPP Universitas NU Kalsel 2015 – 2020 akan berakhir pertengahan 2020, saya sudah niat tak lagi menjadi pemimpin di lingkungan lembaga NU. Di PWNU Kalsel saja saya juga mundur, setelah masa kepengurusan periode kedua 2012 – 2017 akan berakhir. Karena itu, dalam konferwil Desember 2017 itu saya tak niat mencalonkan diri untuk yang ketiga kalinya, meski beberapa sahabat meminta untuk mencalonkan diri kembali jelang konferwil NU dilaksanakan.
Pertimbangan saya, di NU harus ada regenerasi. Harus ada tokoh baru dalam 10 tahun. Harus ada energy baru, dan semangat baru. Otomatis akan ada ide dan gagasan baru. Itulah sebabnya saya tak lagi mencalonkan diri menjadi Ketua Tanfidziah. Tak hanya itu, dalam pemilihan AHWA (ahlul halli wa al-aqdhi) pun, meski saya telah dipercaya semua PCNU se Kalsel, saya memilih tak harus menjadi Rais Syuriah, meski saya berhak menduduki jabatan itu. Saya melihat masih ada beberapa tokoh senior yang lebih tua, dan sayalah yang mendesak agar salah satu anggota AHWA senior yang hadir menjadi Rais Syuriah, meski suara yang didapatnya hanya sekitar 30-an persen saja. Dan karena saya tak mengambil jabatan Rais Syuriah, saya harus menerima jabatan Katib Syuriah.
Orang yang memiliki pemahaman ilmu mantiq atau ilmu logika (dalam disiplin ilmu filsafat), pasti mengerti betul cara pandang atau sudut berpikir saya. Bahwa saya mundur itu betul-betul tulus, bukan untuk berkuasa di NU. Juga bukan untuk cawe-cawe di lingkungan NU, seperti yang kerapkali saya dengar, digosipkan oleh mereka yang tidak mengerti ideologi NU.
Dalam ideologi NU, jamaah itu harus semakin banyak, semakin melebar, dan meluas. NU sebagai jam’iyyah harus diurus oleh orang banyak, bersama-sama. Inilah yang dilakukan Rasulullah, memadukan orang Anshor dan Muhajirin, bahkan dengan suku-suku mana pun. Tetapi kondisi hari ini sudah jauh berubah. Terlebih dengan masuknya group “kost-konst-an” ke NU, cara berpikirnya menjadi terbalik. Bagi mereka, yang bisa mengurus NU, atau Lembaga NU itu hanya orang mereka saja. Orang tertentu saja, dengan alasan yang dibuat-buat. Mungkin 2 atau 3 orang. Lainnya cukup menjadi penggembira saja. Bahkan ada tokoh yang sengaja diisolasi, tak boleh masuk pengurus NU, atau Lembaga NU.
Namun harus dicatat, meski saya menjadi pioner dalam merekruit kaum “kost-kost-an” itu, Langkah saya tetap ada batasannya. Tidak bisa semua orang yang asing dengan NU langsung menjadi pemimpin, menduduki jabatan strategis. Bagaimana bisa yang bersangkutan memimpin, menjalankan arah kebijakan, sementara dia sendiri tak mengerti duduk perkaranya, ideologinya. Jadi, modernisasi di NU itu harus tetap ber-kearifan local, bukan bebas blass seenak udele dewe …
Manajemen Amburadul
Secara khusus sengkarut tata Kelola di lingkungan NU di banua ini ada dalam pengelolaan Lembaga Pendidikan tinggi milik NU, yakni Universitas NU Kalsel. Sebagai pendiri tentu saya paling tahu siatuasinya. Saya terlalu bersemangat, tetapi saya lupa SDM nya, dan pendanaannya. Soal pendanaan, hingga hari ini sebetulnya masih ada honor dosen yang belum terbayarkan (itu artinya utang pengelola). Selain itu, ada pula dana talangan operasional kampus yang juga sepertinya tak pernah dipikirkan mereka, para pengelolanya, dalam hal ini BPP dan Rektor, pimpinan kampus. Mereka hanya enak dengan jabatannya, tanpa pernah menjalankan kewajiban. Mereka tak mengerti bagaimana rasanya orang berjuang, dengan tenaga, pikiran dan biaya. Harusnya mereka sadar jika dari awal kampus itu berdiri tak ada uang, dan sejak awal SPP mahasiswa gratis. Namun operasional tetap jalan. Pernahkah mereka menggunakan otaknya dengan jujur, dari mana uang operasional kampus tersebut?
Lalu soal SDM. Untuk masalah ini bisa kita mulai dari BPP, Rektor, Wakil Rektor, Dekan, dan seterusnya. Juzt info saja, Ketua BPP itu baru bergabung di NU Kalsel 2012, setelah yang bersangkutan mengaku sebagai Ketua PMII di zamannya (yang ternyata itu tak ada). Ia juga tak pernah di IPNU, malah saat bergabung itu anak kandungnya sekolah di group tetangga. Saya terlalu positive thinking kala itu, sehingga saya welcome saja, yang ternyata dalam 10 tahun kemudian (tahun 2022), dialah actor penggerak pengusiran saya di kampus yang saya dirikan sendiri, melalui selembar surat yang mereka antar ke PBNU. Sementara Ketua Umum PBNU sendiri tak pernah datang ke Banjarmasin, sehingga beliau tak mengerti, akibarnya mudah terpengaruh dengan gossip yang mereka sebar. Sungguh sangat ironis … !!!
Sedang Rektor-nya, saya berkenalan di media social, facebook, sekitar tahun 2009-2010. Suatu hari yang bersangkutan saya undang untuk pertemuan alumni PMII di sebuah hotel. Saat pertemuan dia pamit pulang duluan, kepada saya dia berbisik jika dia adalah kader HMI waktu kuliah di Bogor, bukan PMII. Salahkah ? Tidak juga. Ada banyak kader HMI yang aktiv di NU, tetapi wawasan ke-NU-annya genuine, tak diragukan. Kalau tak pernah ada interaksi, di situlah masalahnya.
Kebetulan pimpinan UNU Kalsel hari ini, rector hingga wakilnya, bahkan Ketua Senat-nya tak ada track record NU-nya, pernahkah misalnya mereka itu di IPNU, tak harus PMII. Dampaknya, kurikulum. Hasil monitoring saya, sudah tak ada lagi doktrin Aswaja dalam perkuliahan. Kurikulum yang dulu saya susun mereka hilangkan. Padahal itu hasil lokakarya nasional semua PTNU se Indonesia di Bekasi tahun 2015 awal. Jadi itu bukan sekadar copy paste, seperti yang dilakukan Ketua BPP terakhir. Kalau sudah begini apa bedanya antara kampus UNU dengan UNISKA? UVAYA? Sari Mulia? Cahaya Bangsa? Dan lainnya.
Jika di UNU itu dibuka prodi dengan disiplin ilmu tertentu, tetapi harus tetap memiliki dasar ideologis Aswaja dalam tiga poros: Teologis Asy’ariyah, Norma Hukum Syafi’iyah (Fiqh) dan Etika al-Ghazali (Tasawuf). Lalu di NU juga mengajarkan politik, syakhsiyyah (transnasional). Semua mata kuliah ini sudah dibuang sama petinggi UNU sekarang. BPP-nya diam saja, entah karena tak tahu, atau mungkin setuju. Pembagian jumlah SKS dari Dikti itu sangat rasional, mulai ada MKDU (nasional), hingga muatan local, sesuai kepentingan. Tak perlu semua mata kuliah jurusan itu disajikan. Bisa gak lulus-lulus mahasiswa kuliah … !!!
Hal lain yang juga harus dilakukan BPP adalah pengawasan keuangan. Zaman saya memang belum sempat dibuat system-nya, karena SDM yang minim. Tetapi sekarang sudah berlimpah. Sayangnya Ketua BPP sekarang ini menempatkan dewan pengawas dibangun untuk tidak berfungsi, sehingga sampai sekarang mereka seperti wujuduhu ka’adaamihi … percuma saja. Kebetulan mental juangnya juga rendah, sehingga jika melihat ada penyimpangan semua diam. Tak ada yang berani melakukan kritik, atau koreksi. PWNU nya pun tak bisa diharap, karena tak punya legalitas kepengurusan. Jika saja sengkarut ini terus berlanjut, maka bisa dibilang menjadi percuma mendirikan lembaga pendidikan tinggi NU ini, dengan tenaga dan dana yang tak sedikit. Karena tak manfaat buat jam’iyyah, buat jamaah, apalagi buat bangsa dan negara. Seperti kata para penyair, hidup ini hanya sebuah rutinitas. Wallahu’alam bi as-sawab … !!!
*M Syarbani Haira, Pendiri dan Ketua BPP UNU Kalsel 2015-2020