Media Banjarmasin
Home Kolom Pakar Perilaku Flexing, Sebagai Salah Satu Strategi Pemasaran?

Perilaku Flexing, Sebagai Salah Satu Strategi Pemasaran?

Oleh Lola Malihah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Darussalam Martapura

Promosi merupakan salah satu komponen bauran pemasaran atau mix marketing. Oleh sebagian pelaku bisnis promosi dianggap sebagai ujung tombak karena sangat berperan dalam usaha memperkenalkan produk kepada khalayak, agar dapat menarik minat konsumen sebanyak mungkin. Tujuan promosi sejatinya adalah menarik perhatian, mempengaruhi dan tentunya menjual produk. Berbagai macam strategi promosi dilakukan, mulai dari memajang spanduk, membagikan brosur, demonstrasi sampai menggunakan bintang iklan atau brand ambassador.Selain para produsen yang berupaya mempromosikan produknya, para publik figur pun tidak ketinggalan untuk mempromosikan diri dengan menciptakan self branding. Dalam persaingan bisnis hal tersbut tentunya sangat wajar dan sangat diperlukan. Strategi pemasaran merupakan salah satu langkah atau kebijakan dalam bisnis yang dapat dimaknai sebagai tidakan yang terukur dengan tujuan untuk mengenalkan produk suatu perusahaan kepada masyarakat luas.

Menurut Assauri, (2012) strategi pemasaran terdiri dari rangkaian tujuan dan sasaran kebijakan dan aturan untuk dijadikan acuan usaha pemasaran organisasi dari waktu ke waktu pad amasing-masing level. David & Rangkuti,( 2014) berpendapat bahwa strategi pemasaran merupaakan sarana untuk mencapai tujuan dalam perkembangan organisasi dan sebagai konsep pengembangan strategi.

Di era globalisasi dan digitalisasi ini media social menjadi tempat promosi yang paling sering digunakan. Beberapa waktu belakangan ini kita sempat dihebohkan dengan bermunculannya “grazy rich”. Para grazy rich ini muncul diberbagai media, terutama di media sosial. Mereka menampilkan segala hal yang bernuansa kemewahan. Mulai dari rumah mewah, mobil, barang fashion, perjalanan wisata ke luar negeri sampai video membagi-bagikan uang dijalanan.

Perilaku pamer tersebut kemudian sering dikenal dengan istilah flexing. Perilaku flexing adalah bagian dari teori market signaling, yaitu menyampaikan signal kepada orang lain tentang kelebihan, kemewahan dan kekayaan. Hal ini tentunya dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari publik. Secara bahasa kata flexing berasal dari bahasa Inggris yang bermakna “pamer”. Dalam Kamus Cambridge flexing berarti memperlihatkan yang telah dicapai atau dimiliki melalui cara yang dianggap tidak menyenangkan orang lain. Sementara dalam kamus Merriam Webster kata flexing bermakna pamer apa yang telah dimiliki dengan cara yang sangat mencolok. Mempertontonkan harta yang dimiliki dimedia sosial saat ini menjadi hal yang sering ditemui di masyarakat (Defianti, 2022). Teori ini pertama kali muncul tahun 1899 dalam buku karya Thorstein Veblen dengan judul “The Theory of The Leisure Class”. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana barang-barang dipamerkan untuk menunjukkan status. Dalam ilmu ekonomi flexing dikategorikan perilaku konsumtif yang sangat signifikan atau shopaholic. Pelakunya akan menghabiskan uang untuk membeli barang-barang mewah yang mahal harganya dan juga mencari layanan premium demi menonjolkan kemampuan secara finansial dan kelas sosial. Faktor psikologis seseorang diduga mempengaruhi perilaku flexing seseorang di media sosial (Hasibuan, 2022). Fenomena flexing ini tentunya akan sangat berbahaya jika pelaku flexing memiliki maksud jahat untuk melakukan penipuan.

Pada video Youtube acara 15’ Metro TV dengan presenter Wahyu Wiwoho: Ahmad Sahroni yang merupakan seorang pengusaha, politisi dan juga anggota Komisi III DPR RI mengatakan bahwa akhir-akhir ini flexing seperti sebuah fenomena dimana seseorang ingin mendapatkan kekayaan dalam waktu singkat tetapi dengan cara membodohi masyarakat yang sayangnya juga ingin cepat kaya denagn cara yang instan. Metode yang dilakukan tidak mengeluarkan modal besar tetapi dapat menarik investasi yang masuk dalam jumlah besar. Flexing dalam hal bisnis tentunya sangat mudah dilakukan melalui media sosial sehingga membentuk label yang seakan-akan benar tetapi sesungguhnya tidak benar.Komisi III DPR mendorong kepada pihak terkait seperti PPATK dan Kepolisian agar lebih ketat dalam pengawasan terhadap orang yang berpotensi melakukan hal tersebut untuk mencegah terjadi lagi investasi ilegal. Masyarakat juga harus lebih memahami tentang literasi terutama tentang investasi. Bagi Sahroni bisnis yang tidak ada fisiknya itu adalah perjudian. Selain itu masyarakat juga harus lebih bijak dan berfikir logis bila mendapat tawaran bagi hasil investasi dengan keuntungan yang melebihi dari yang biasanya diberikan. Media sosial dinilai seperti memiliki dua sisi mata pedang, disatu sisi bisa sangat bermanfaat dalam memberikan berbagai edukasi, tetapi disisi lainnya banyak yang menjerumuskan jika media sosial digunakan untuk promosi yang bersifat menipu.

Yuswohady seorang managing partner inventure mengatakan ; Seorang publik figur memang diharuskan menciptakan identitas personal brandnya. Personal branding dapat dimanfaatkan untuk keperluan bisnis seperti selebriti dan influencer serta dapat juga dimanfaatkan untuk corporate branding. Sebelum terjadi fenomena sekarang, sejak tahun 1990an flexing memang sudah dilakukan tetapi tidak secara spesifik pada pamer kekayaan dan lebih kepada kesuksesan. Hal ini dapat ketika berkembangnya Franchise para pelaku usaha dibidang Franchise juga melakukan flexing dengan tujuan untuk memperluas cabang guna menarik investor. Dimana personal dan coorporate branding sangat berperan. Sosial media dan sosial flatform membuat flexing menjadi masif memungkin bagi setiap orang untuk berbicara dan menyampaikan apapun, membuat konten yang kemudian dapat berpengaruh pada popularitas karena berhubungan dengan image yang terbentuk dimata publik. Dalam dunia bisnis semestinya sah saja jika melakukan flexing karena tidak ada yang melarang jika seseorang menunjukkan kekayaannya, namun yang terjadi sekitar 80-90% membawa dampak negatif karena mengandung kesombongan apalagi jika ditambah dengan kebohongan. Jika mau melakukan flexing sebagai salah satu strategi untuk membangun sebuah personal branding sebaiknya diarahkan pada proses bagiamana cara usaha mulai dirintis, bagaimana proses dan jatuh bangunnya, bukan pada hasil akhir (kesuksesannya saja) Dengan begitu diharapkan akan dapat memberikan inspirasi dan motivasi untuk customer, patner dan audiens tentang bagaimana cara dan proses membangun dan menjalankan usaha guna mencapai kesuksesan. Sambungnya, orang yang benar-benar kaya biasanya dapat dikenali dari perjalanan usahanya, jenis usaha, layanan dan produk yang jelas dan rekam jejak usahanya. Penipuan bermodus flexing dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk memberi iming-iming bagi masyarakat yang ingin kaya dengan instan dan dalam waktu cepat. flexing bukan hanya terkait harta atau kekayaan saja, flexing juga dapat dilakukan untuk memperlihatkan prestasi, pencapaian hasil pekerjaan dan juga penghargaan.

Sementara itu guru besar ilmu manajemen Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali mengatakan : Orang kaya yang sesungguhnya justru tidak ingin menjadi pusat perhatian, mereka bahkan menginginkan sebuah pivasi. Seperti kata pepatah “Poverty screams, but wealth whispers”. Oleh karena itu menurut beliau, perilaku flexing justru sering dilakukan oleh yang bukan orang kaya sesungguhnya. Beliau bahkan mencontihkan kasus First Travel yang pernah terjadi beberapa tahun lalu, pemilik bisnis sering memamerkan kekayaan dan kegiatan travellingnya dimedia sosial. Hal tersebut dilakukan agar para target percaya dan menggunakan jasa First Travel.Belakangan ini muncul laagi beberapa grazy rich yang memamerkan kekayaan diberbagai media yang berakhir dengan kasus penipuan.

Memang kadang orang bisa langsung menaruh kepercayaan hanya dengan melihat kekayaan yang di pamerkan. Sebenarnya jika tujuannya hanya untuk menarik perhatian publik saja, maka perilaku flexing ini bisa menjadi sebuah strategi pemasaran untuk promosi dan membangun kepercayaan konsumen. Bagi sebagian orang flexing juga dianggap sebagai perilaku pamer demi popularitas. Namun sayangnya yang terjadi saat ini perilaku flexing dibarengi dengan kebohongan dan berujung penipuan.

Referensi :
Assauri, S. (2012). Manajemen Pemasaran. Rajawali-Gramedia Pustaka Utama.
David, & Rangkuti, F. (2014). Manajemen Strategi (10th ed.). Salemba Empat.
Defianti, I. (2022, April). Fenomena Flexing, Pamer Harta demi Eksistensi. Liputan6.Com.
Hasibuan, L. (2022). Fenomena Flexing Kekayaan,tanda Benar-benar hidup Bahagia?
https://caritahu.kontan.co.id/news/flexing-adalah-sikap-pamer-ini-asal-mula-kata-flexing?page=all. Editor: Virdita Ratriani
https://youtu.be/8etiTVmFxy

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad