Tanpa Politik Rakyat Bisa Celaka
oleh: M Syarbani Haira *)
Rabithah Melayu Banjar, sebuah perkumpulan kolaborative, untuk kemaslahatan masyarakat Melayu dan Banjar, baru saja melaksanakan muktamar pertama, di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, tepatnya16 – 17 Maret 2023. Sebagai salah satu pimpinan perkumpulan yang baru didirikan bulan Agustus 2022 lalu, saya kerap kali didatangi, dan ditanya banyak pihak, tentang event bersejarah tersebut. Terlebih kesediaan Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir Haji Joko Widodo, yang berkenan hadir, menambah penasaran banyak pihak, bisa-bisanya lembaga yang belum beken, masih “ingusan” dan baru seumur jagung itu, kepala negara terbesar ke-4 di dunia ini berkenan hadir ? Tempatnya pun lumayan jauh, sekitar 6 jam perjalanan darat dari kota Banjarmasin. Lagian kawasan ini rada terisolasi, adanya di kawasan paling utara di wilayah Kalimantan Selatan.
Di antara pertanyaan yang selalu muncul adalah, apakah kegiatan ini ada kaitan dengan misi politik ?
Mendengar pertanyaan yang summir ini, saya sesungguhnya pengen ketawa ngakak, namun tak berani. Pertama, jika pertanyaan ini diajukan untuk seorang maling ayam, maka jarang-jarang ada maling mau jujur menjawabnya. Kedua, tema ini sebenarnya bukan untuk ditanyakan, melainkan untuk diamati, ditelusuri, dicermati, dan diselidiki. Adakah indicator muktamar tersebut berkaitan dengan politik (praktis). Ketiga, jika tuh ada juga, apakah itu sesuatu yang salah ? Apakah ini sebuah dosa besar misalnya, jika di negeri ini ada sebuah kegiatan social keagamaan, bermuatan politik (praktis).
Saya pun langsung teringat muatan elementary perkuliahan ilmu politik, saat awal-awal menjadi mahasiswa di kota “gudeg” Ngayogyakarta akhir tahun 1970-an. Kitab rujukan utama saat itu adalah karangan Miriam Budiardjo, berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik”. Hingga sekarang kitab ini masih jadi rujukan, dan saya pun jika diminta ceramah, kerapkali mengutipnya.
Dalam konteks ini, maka politik bisa dipandang secara praktis, sederhana, sebagaimana yang telah dilakukan para politisi, melalui lembaga-lembaga politik dan partai politik. Secara substantive, politik maknanya menjadi sebuah upaya untuk merebut kekuasaan, atau mengajar kekuasaan. Intinya, ber-politik itu ingin berkuasa.
Selain itu politik bisa pula dimaknai dalam perspective yang lebih luas, secara akademis, dan lebih konsepsional. Dalam hal ini politik adalah sebuah kebijakan, sebuah langkah atau policy, bagi sebuah negara, untuk mencapai kesejahteraan rakyat (welfare). Di sini politik bermakna sebagai langkah kebijakan negara, membuat atau merancang administrasi pembangunan, untuk mensejahterakan rakyatnya, sekaligus untuk memajukan bangsa dan negaranya.
Sayangnya konsep politik yang luar genuine dan brilliant ini tak dimengerti secara apik oleh banyak pihak. Hatta oleh mereka yang sebenarnya harus memahaminya secara betul. Politik kerapkali hanya dipandang sebagai ajang perebutan kekuasaan, yang dalam kasus tertentu kadang memang menimbulkan chaos, konflik dan kekisruhan, serta kekacauan.
Karena terkontaminasi dengan faham yang keliru tersebut, maka ketika Muktamar Rabithah Melayu Banjar melakukan “Do’a Bersama dan Istighosyah” untuk ketentraman dan kedamaian bangsa tercinta ini, asosiasinya adalah ini sebuah gerakan politik. Lantas di cari-carilah aargumentasi, dan dihubung-hubungkanlah relasi, untuk menyimpulkan jika event mulia ini bermuatan politik (praktis). Karena isu tersebut, muncul spekulasi jika acara ini harus dibatalkan, dan presiden tak layak untuk datang. Tak hanya itu, sebuah ormas keagamaan pun mau di seret-seret, agar menolak kegiatan mulia ini. Untungnya mereka masih menggunakan akal sehat, yangh menurut mereka tak ada alasan untuk membatalkan do’a bersama dan istighosyah tersebut.
Terlepas dari itu semua, saatnya kita memahami politik secara perspective kebangsaan, kemanusiaan, dan kenegaraan. Setiap bangsa dan negara, termasuk manusianya, tak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Dengan politik inilah kita bisa memiliki sebuah negara yang merdeka, yang memiliki kebebasan, yang bisa berkarya. Berinovasi dan berkreasi, secara bertanggung-jawab.
Melalui politik ini pulalah tersusun lembaga-lembaga kenegaraan, yang dalam teori filsafat Yunani, disebut dengan istilah Trias Politica, dalam hal ini ada Legislative, Ekskutive, dan Yudikative.
Legislative adalah para Wakil Rakyat, entah itu DPR atau MPR, dan DPD di Indonesia. Tugas mereka membuat undang-undang, merancang budget, keuangan negara, serta mengawasi pembangunan. Pihak ekskutive, dalam hal ini presiden dan kebinetnya, dari pusat hingga ke daerah, melaksanakan pembangunan yang sudah dirancang secara umum oleh pihak legislative. Amanah lainnya selain pembangunan, yakni tugas pertahanan dan keamanan, serta ketertiban masyarakat. Kemudian ada lembaga yudikative, yang tugas utamanya adalah menjalankan amanah penegakan hukum, pengadilan, dan sejenisnya.
Hingga hari ini, model inilah yang dianut oleh hamper semua negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Trias politica menjadi elemen central dalam pembangunan sebuah bangsa. Semuanya adalah kerja politik. Semuanya bagian dari aktivitas politik. Jika tak ada lembaga politik, maka semuanya tak akan pernah ada. Tak ada pembangunan (jalan tol, bandara, jembatan, dll), juga tak akan tercapai kesejahteraan rakyat, serta tak akan pernah ada negara maju, sebagaimana yang diharapkan dan diimpikan.
Kesejahteraan rakyat tak akan pernah kesampaian tanpa adanya praktik politik. Keamanan sebuah negara tak akan bisa terjadi, tanpa adanya desain politik. Begitu juga dengan ketertibabn masyarakat, juga akan sulit tercipta, tanpa adanya kontribusi politik. Termasuk masalah kedamaian, praktik keagamaan, pelestarian kebudayaan, serta dinamika peradaban, semuanya menjadi nonsen, jika tidak ada kebijakan politik. Kita semua justru bisa akan menjadi menderita, bahkan celaka, jika tanpa adanya praktik politik dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Maka itu, janganlah kita menjadi sinis terhadap semua sisi-sisi dunia kepolitikan. Bahwa secara perilaku, ada politisi buruk, kita bisa awasi sama-sama. Jika memang ada politisi busuk yang masih bergerilya, serta berpetualang di tengah masyarakat yang sudah berbudaya, berperadaban, yang hidup dengan damai, tindak saja. Tetapi jangan semua aktivitas social kemasyarakatan, suka diasosiasikan dengan politik, yang ujung-ujungnya justru merupakan hasil pesanan dari kaum politisi itu sendiri.
Maka itu, atas dasar hati nurani, dan atas dasar keyakinan spiritual kita, ada baiknya kita semua elemen bangsa di negeri ini untuk membangun sebuah kebudayaan, peradaban baru, untuk saling menghargai, dan saling menghormati, tanpa harus memberikan tudingan dan spekulasi, yang bisa menimbulkan kekisruhan dalam kebudayaan yang sudah damai.
Ada baiknya kita semua juga untuk saling menghargai, Saling mentoleransi, sesuai doktrin Pancasila dan UUD 1945, serta keyakinan spiritual kita masing-masing, yang memang selalu mengajarkan kepada hambanya, untuk selalu berpikir konstruktive, terhadap semua ide-ide dan gagasan-gagasan mulia, yang manfaatnya kepada masyarakat luas akan menjadi kenyataan.
Mudah-mudahan kita semua mendapatkan taufik dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa, dan dijauhkan dari segala Murka-Nya. Apalagi di bulan Ramadhan ini, seyogyanya buka hati kita lebar-lebar, untuk membukakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana manfaat dan mana mudharat. Aamien ya rabbal alamien. Wallahu’alam bissawab … !!!
M Syarbani Haira, Dewan Pendiri Rabithah Melayu Banjar