Media Banjarmasin
Beranda Berita Halal Bihalal: Tradisi Dulu dan Masa Kini

Halal Bihalal: Tradisi Dulu dan Masa Kini

Oleh: Mursidah, S.Pd, M.Pd.*)

 Halal bihalal pada intinya merupakan kegiatan silaturahmi dan saling memaafkan. Disebutkan dalam suatu riwayat, menyambung silaturahmi akan memperluas rezeki dan memperpanjang umur. “Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah menjalin silaturahmi.” (HR Bukhari).

Halal bihalal memang terdengar seperti berasal dari bahasa Arab. Halal bihalal sebenarnya berasal dari kata serapan ‘halal’ dengan sisipan ‘bi’ yang berarti ‘dengan’ (bahasa Arab) di antara ‘halal’.  Namun, Halal bihalal sebenarnya bukan berasal dari Arab, melainkan merupakan tradisi yang dibuat di Indonesia. Kata Halal bihalal bahkan sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam KBBI, Halal bihalal berarti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halal bihalal juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi.

Ada berbagai macam versi mengenai sejarah lahirnya tradisi halal bihalal di Indonesia.
Versi pertama,  beberapa referensi menyebut tradisi ini berakar dari pisowanan yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18.  Menggunakan istilah Robert Redfield, halal bihalal bermula dari great tradition di keraton yang kemudian diabsorpsi umat Islam Indonesia dan memancar pada keseharian rakyat biasa sebagai little tradition.

Ketika itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idul Fitri. Pisowanan secara bersama ini lebih efektif dan efisien.   Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal.

Versi kedua, asal usul Halal bihalal berasal dari KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. KH Wahab merupakan seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama.  KH Wahab memperkenalkan istilah Halal bihalal pada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturahmi antar pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik.

Pada tahun 1948 Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja ada gejala disintegrasi bangsa serta elit politik saling jegal enggan duduk berdampingan.  Ditambah dengan pemberontakan di mana-mana mulai dari gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), Partai Komunis Indonesia atau PKI Madiun.

Atas saran KH Wahab, pada Hari Raya Idul Fitri di tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul ‘Halal bihalal.’ Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja.

Mereka mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halal bihalal.

Halal bihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Hingga kini Halal bihalal menjadi tradisi di Indonesia.

Tradisi halal bihalal dalam perayaan hari raya Idul Fitri merupakan gagasan yang lahir di Indonesia. Menariknya gagasan ini bertujuan politis demi kerukunan bangsa pada kondisi lampau yang terjadi di Indonesia.

Artinya halal bihalal pertama kali hanya dilakukan di Indonesia, namun lambat laun gagasan politis ini mulai populer di beberapa negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga negara-negara di Eropa lainnya. Halal bihalal dipopulerkan oleh kedutaan-kedutaan besar Indonesia  yang ada di negara tersebut dan dipraktikkan bersama masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di sana.

Melanggengkan tradisi halal bihalal pada masa kini bisa menjadi keharusan pada setiap keluarga. Bahkan di Indonesia para perantau rela pulang ke kampung halaman atau mudik pada momen Idul Fitri untuk melakukan halal bihalal dengan keluarga besar.

Tradisi Halal bihalal bisa menjadi semacam rekonsiliasi atau memulihkan hubungan pada keadaan semula, dari adanya perselisihan kecil ataupun besar bisa legowo saling memaafkan dan sadar akan kesalahan lewat berjabat tangan dengan mengucap “mohon maaf lahir dan batin”.

Kenyataannya pada kondisi masa kini, kita sangat mudah meminta maaf maupun memaafkan seseorang. Apa yang membuat semua itu tampak mudah sementara pada hari biasa terasa berat mengucap maaf?

Ada tiga faktor yang mengubah perasaan dan hati seseorang menjadi sangat lunak pada momen halal bihalal, yakni identitas sosial, pengaruh suasana hati, dan spiritualitas relasional.

Pertama, seseorang dengan identitas sosial tertentu akan bersikap sesuai dengan identitas dari kelompok sosialnya. Hal ini juga bisa berkaitan dengan profesi, misalnya jika seseorang berprofesi sebagai guru maka Ia akan bersikap sesuai standarnya.

Kedua, pengaruh suasana hati, pada momen Idul Fitri yang ditunggu-tunggu dan disambut dengan perasaan bahagia akan membuat seseorang  lebih mudah untuk meminta dan memberi maaf. Berbeda dengan hari biasa yang masih memikirkan gengsi dan harga diri. Bisa dikatakan momen Idul Fitri adalah waktu yang tepat untuk menujukan identitas sosial yang harus dibangun.

Ketiga, spiritualitas relasional berkaitan dengan standar ajaran agama yang harus ditunjukkan oleh pemeluknya. Seorang muslim dalam agama Islam dianjurkan saling memaafkan dan meminta maaf. Sehingga hal ini menjadi perilaku ideal dalam agama yang mesti dilaksanakan.

*) Guru SMA Negeri 8 Banjarmasin

Komentar
Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan