2022, Cukai Hasil Tembakau Naik 12 Persen
Jakarta – Penguatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu agenda krusial dalam rangka peningkatan produktivitas nasional untuk mendukung pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Human Capital Index (HCI) mencakup kesehatan manusia masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, upaya penguatan kualitas kesehatan masyarakat terus dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan.
“Alokasi belanja kesehatan telah ditingkatkan menjadi minimal 5 persen dari total belanja pemerintah di APBN, baik untuk upaya-upaya pencegahan (preventive), pengobatan (curative), maupun peningkatan kualitas dan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Menyadari upaya pengobatan pada umumnya lebih mahal, salah satu upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah adalah intervensi untuk mengurangi konsumsi rokok yang saat ini mengkhawatirkan,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Senin (13/12).
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, 9 dari 100 anak di Indonesia masih merokok. Jumlah ini termasuk yang tertinggi di Kawasan Asia. Berbagai riset dan kajian telah membuktikan berbagai kerugian yang timbul akibat tingginya konsumsi rokok. Selain menjadi faktor risiko kematian terbesar kedua di Indonesia menurut Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) pada tahun 2019, konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19. Selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9% di perkotaan dan 11,24% di perdesaan. Angka tersebut hanya lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan. Menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, 1% peningkatan pengeluaran untuk rokok juga meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6%.
Kerugian akibat konsumsi rokok juga merambat ke perekonomian dan keuangan negara. Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan. Menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di tahun 2021, biaya kesehatan akibat merokok tercatat sebesar Rp17,9-27,7 triliun setahun. Dari total biaya ini, terdapat Rp10,5 – 15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Biaya tersebut setara dengan 20%-30% dari besaran subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tahun sebesar Rp48,8 triliun yang dikeluarkan oleh APBN.
“Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7% di tahun 2024. Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) adalah bagian dari upaya mencapai target ini, guna mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan produktivitas SDM ke depannya. Hal ini mengingat bahwa konsumsi rokok terutama di kalangan anak sangat dipengaruhi oleh harga rokok. Kebijakan CHT selama ini telah efektif menekan konsumsi rokok, tercermin dari turunnya konsumsi rokok di tahun 2020 sebesar 9,7% dari tahun sebelumnya seiring dengan meningkatnya indeks kemahalan rokok sebesar 12,6%,” tambahnya.
Meskipun demikian, prevalensi merokok di Indonesia masih relatif tinggi, termasuk pada kelompok berusia di bawah 18 tahun. Penyesuaian tarif CHT diharapkan dapat terus menurunkan prevalensi merokok di Indonesia. Selain penyesuaian tarif CHT, pemerintah juga melakukan simplifikasi tarif cukai, penyesuaian batasan Harga Jual Eceran (HJE) Minimum, dan penindakan rokok illegal.
Selain itu, upaya mengurangi disparitas harga rokok di seluruh jenis rokok juga penting untuk meningkatkan efektivitas kebijakan CHT. Di saat konsumsi rokok yang dibuat dengan mesin baik rokok kretek (Sigaret Kretek Mesin/SKM) maupun rokok putih (Sigaret Putih Mesin/SPM) terus menurun sejalan dengan kenaikan harga akibat penyesuaian tarif CHT, konsumsi rokok yang dibuat dengan tangan (Sigaret Kretek Tangan/SKT) justru naik dalam 2 tahun terakhir karena tarif cukainya tidak naik yang membuat harganya menjadi lebih terjangkau. Tidak naiknya jenis SKT pada 2020 terkait dengan transisi kebijakan yang memperhatikan keberlangsungan tenaga kerja utamanya petani tembakau serta pekerja di industri tembakau secara umum.
“Untuk meningkatkan efektivitas CHT dalam rangka mendukung upaya mengurangi konsumsi rokok, kenaikan tarif juga akan mencakup SKT yang juga akan diiringi dengan kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH) CHT. Melalui DBH CHT, pemerintah berupaya meningkatkan dukungan terhadap petani/buruh tani tembakau serta buruh rokok. Di tahun 2021, 25% alokasi DBH CHT akan diarahkan ke sektor kesehatan, sedangkan 50% diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas bahan baku dan peningkatan keterampilan kerja (dalam rangka alih profesi atau diversifikasi tanaman tembakau bagi petani tembakau) dan pemberian bantuan, sementara 25% sisanya untuk penegakan hukum,” tambahnya.
Dengan demikian, pokok-pokok perubahan kebijakan CHT tahun 2022 yang akan dimulai Januari 2022 adalah (i) penyesuaian tarif cukai dan batasan minimum harga jual eceran (HJE) seluruh jenis sigaret sebesar rata-rata tertimbang 12% dengan kenaikan tarif untuk SKT maksimal 4,5%, (ii) penyederhanaan struktur tarif menjadi 8 layer (simplifikasi Golongan IIA dan IIB jenis SKM dan SPM), dan (iii) optimalisasi kebijakan DBH CHT sebagai bantalan kebijakan CHT. Sedangkan penyesuaian tarif cukai dan batasan minimum HJE jenis Rokok Elektrik (RE) dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) adalah sebesar 17,5%, dengan tarif cukai spesifik. Kebijakan CHT 2022 tersebut akan menurunkan konsumsi rokok sebesar rata-rata 3,0% per tahun. Kerja sama seluruh pihak juga dibutuhkan untuk menurunkan prevalensi merokok yang disebabkan oleh faktor non-harga seperti tingkat pendidikan, pengaruh teman sebaya dan orang tua/keluarga yang merokok, iklan, promosi, sponsorship rokok, serta akses yang mudah untuk membeli rokok batangan.
rel